Suara.com - Fenomena perkawinan usia dini atau di bawah 18 tahun kini tak hanya terjadi di pedesaaan. Gejala ini sudah merambat ke tingkat perkotaan.
Laporan dari UNICEF dan Badan Pusat Statistik tahun 2016 mengungkapkan, satu dari tujuh anak perempuan yang hidup di daerah perkotaan menikah sebelum usia 18 tahun.
Disampaikan psikolog Ajeng Raviando, perkawinan anak menyebabkan terputusnya fase masa remaja. Seharusnya saat remaja, kata dia, merupakan fase bagi perkembangan fisik, emosional, kognitif dan sosial mereka.
Sayangnya pernikahan dini membuat mereka dihadapkan pada beban tanggung jawab rumah tangga, baik sebagai istri maupun seorang ibu.
"Memasuki kehidupan rumah tangga di usia remaja bukanlah hal yang mudah. Anak yang menikah sebelum 18 tahun seringkali dianggap sebagai orang dewasa dan harus memikul tanggung jawab yang sangat besar padahal secara psikologis dan fisik mereka belum siap," ujar dia pada temu media di Jakarta, Kamis (28/9/2017).
Ia menambahkan, perkawinan saat usia remaja juga sering membuat anak perempuan berhadapan pada berbagai persoalan rumah tangga yang berujung pada perceraian.
Beban psikologis yang tak seharusnya dipikulnya dapat memicu depresi yang dapat berujung pada upaya bunuh diri.
"Persoalan yang timbul akibat menikah terlalu dini dapat mengakibatkan kecemasan, depresi, atau mendorong mereka untuk memiliki pikiran untuk bunuh diri," tambah dia.
Ia pun berharap perkawinan pada usia tergolong anak-anak ini bisa dicegah. Pasalnya tak hanya berdampak pada pasangan yang menjalani perkawinan di usia dini, tapi juga berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan anak mereka.
"Kebayang nggak anak mengasuh anak. Dianggap kayak mainan kali ya. Dia nggak tahu cara mengasuhnya seperti apa karena ilmunya masih kurang dan belum siap secara psikologis. Jadi nikah muda itu nggak keren," pungkas dia.
No comments:
Post a Comment