Suara.com - Sebagai barang komoditas, kebutuhan kopi di dunia semakin ke depan akan semakin bertambah. Sehingga wajar jika bisnis kopi cenderung stabil dan malah terus meningkat.
Hal itu dikatakan oleh Togu Panandaditya Siregar, CEO PT. JPW Indonesia saat ditemui Suara.com dikantornya, Kavling Polri Ampera, Jalan B1 No. 24, Cilandak, Ragunan, Jakarta Selatan.
JPW Indonesia sendiri memiliki tiga bidang usaha, yakni coffee, packaging, dan tools.
Namun, tak banyak pencinta kopi yang tahu bagaimana membedakan kopi organik atau bukan.
Menurut Togu, memang susah mengindentifikasi apakah kopi yang diseruput oleh kita melalui proses organik atau tanpa pestisida maupun pupuk kimia.
“Susah, tidak bisa diidentifikasi dengan lidah atau penciuman. hanya bisa dibuktikan dengan sertifikat. Orang bisa saja klaim (itu kopi organik),” tutur Togu.
Suami dari Sekar Pradiptaning Utami ini menambahkan, kopi Wamena memang organik tapi tak punya sertifikat. Togu berani bilang semua jenis kopi yang dijualnya diolah secara organik.
“Cuma satu yang tidak organik, yaitu kopi Lampung,” katanya.
Togu mengatakan, kopi lampung 90% tidak organik karena petani kopi di sana mementingkan dijual di industri.
“Ekspor paling banyak dari lampung, robusta. Karena robusta Lampung memang enak dan murah,” ujar ayah dari Ibnu Kahfi Siregar dan Rifan
Lelaki bergelar sarjana IT di Universitas Bina Nusantara ini menilai bahwa kebun kopi dengan perlakuan organik, produksinya tak akan banyak karena tak ada perangsang.
Untuk perkebunan kopi di Lampung, kata dia, lahannya memang didesain untuk memproduksi kopi sebanyak mungkin.
No comments:
Post a Comment